Anggaran Kemiskinan
Permintah ditawari 3 opsi sebagai antisipasi terhadap gejaolak harga minyak dunia. Opsi yang paling ringan dan rasional saat ini –begitu menurut penggasanya, adalah menaikkan harga bahan bakar inyak (BBM) jenis premium, misalnya, sebesar Rp. 500 per liternya. Sepintas keputusan yang telah dipilih itu tampak sederhana. Tapi pernahkah kita bayangkan bahwa keputusan itu, di tengah himpitan sektor yang menjepit lainnya yang dirasakan masyarakat, produk pertanian khusunya, sungguuh-sungguh berdampak besar. Satu hal yang pasti, meski BBM baru direncanakan naik, efek psikologis-nya telah terasa. Di beberapa tempat BBM sempat langka, rakyat antre dan beberapa harga bahan kebutuhan pokok rakyat sudah naik. Ini baru efek psikologisnya. Memang, banyak kalangan sadar bahwa BBM merupakan instrumen ekonomi mikro (juga makro) yang sangat besar kaitannay dengan sektor-sektor lainnya, meski tidak terkait secara langsung.
Pernyataan resmi Pemerintah mealui Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, di awal tahun 2011 tentang penganggaran bagi penanggulangan kemiskinan patut diingat dan dicermati kembali. “Dalam tahun 2011 anggaran program kemiskinan Rp86,1 triliun. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2010 sebesar Rp80,1 triliun,” kata Anny.
Hal ini berarti bahwa secara kuantitatif anggaran penanggulangan kemiskinan naik secara konsisten dari tahun ke tahun. Bila dibandingkan dengan anggaran kemiskinan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 24,08 triliun, (REPUBLIKA, 21/06/2007), artinya dalam 4 tahun terjadi kenaikan lebih dari 2,5 kali-nya. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi 31,02 juta orang penduduk miskin Indonesia –tepatnya 31.023.400 juta orang, baik yang berada di kota maupun di pedesaan (BPS, 2010). Bila diasumsikan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia tahun 2011 sama dengan data BPS tahun 201, apa arti angka-angka itu?
Bagi kita yang paham akan tingkat besaran-besaran dalam matematika; satuan (angka 1-9 tanpa nol, 1 misalnya), puluhan (angka yang diikuti oleh satu angka nol di belakangnya, 10 misalnya), ratusan (angka yang diikuti oleh dua angka nol di belakangnya, 200 misalnya), ribuan (angka yang diikuti oleh 3 angka nol dibelakangnya, 3.000 misalnya), jutaan (angka yang diikuti oleh 6 angka nol di belakangnya, 6.000.000 misalnya), miliaran (angka yang diikuti oleh 9 angka nol di belakangnya, 9.000.000.000), dan triliunan (angka yang diikuti oleh 12 angka nol di belakangnya, 12.000.000.000.000 misalnya, besar pagu penanggulangan kemiskinan itu sangat jelas artinya.
Sederhana saja. Bila terdapat 31.023.400 orang miskin di Indonesia saat ini sementara tersedia Rp 86,01 triliun dana yang akan dikucurkan untuk mengglontorkan kemiskinan maka angka-angka itu berarti: 86.010.000.000.000 rupiah/31.023.400 orang, atau masing-masing rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin akan disantuni sebesar Rp 2.772.423. Angka ini setara dengan AS$ 326,167 untuk setiap orang miskin di Indonesia (kurs Rupiah terhadap Dolar AS diasumsikan Rp 8.500/ AS$).
Belajar pada Yunus
Pertanyaan selanjutnya, apa yang dapat kita bayangkan dengan angka di atas?
Serentak sebagian kita akan lantang menyebut, ”terlalu kecil” atau ”bisa berbuat apa dengan angka itu?” bahkan mungkin ungkapan ”tidak pantas!”.
Memang, kalau didengar sesaat ungkapan di atas bisa benar adanya. Kenyataannya, sampai saat ini pun program penanggulangan –istilah yang dulu sering dipakai pengentasan, kemiskinan belum berarti signifikan. Atau ada juga yang mungkin berkomentar positif, ”cukuplah”.
Tapi, bila kita mau lebih teliti menoleh dan belajar dari negara tetangga yang tak henti dirundung malang, Bangladesh, dalam hal penanggulangan kemiskinan melalui sosok seorang Profesor ekonomi, Muhammad Yunus, dengan Grameen Bank-nya, sungguh kita akan tercengang dengan angka-angka itu. Bahkan, program yang dirintis dari sebuah desa kecil dekat kampus Chittagong University, Jobra di distrik Chittagong, Sang Profesor —setelah hampir 30 tahun, dihadiahi Nobel Perdamaian oleh Komite Nobel Norwegia pada tahun 2006.
Yunus, memulai programnya dengan hanya berbekal dana AS$ 27 untuk membantu menutupi pinjaman –hutang dan bunganya, 42 orang warga Jobra kepada para rentenir. Yunus hanya perlu memodali masing-masing warga miskin Jobra sebesar AS$ 0,643 atau setara dengan Rp 5.464 ketika itu. Sementara angka yang diperuntukkan bagi rakyat miskin Indonesia saat ini, perorangnya sebesar AS$326,167. Atau 507 kali lipat besarnya dari angka yang dimulai Yunus. Dan, setelah 30 tahun berlalu, catatan pada Grameen Bank sungguh-sungguh fantastis: 7 juta orang miskin di 73.000 desa Bangladesh di mana 97 persen nasabahnya perempuan telah menerima kredit yang bebas agunan untuk mata pencaharian, perumahan, sekolah, dan usaha mikro dan menawarkan setumpuk program tabungan yang atraktif, dana pensiun, dan dana asuransi untuk para anggotanya.
Apa yang membuat Yunus mampu menyulap angka-angka seperti ini?
Bagi Yunus, kemiskinan adalah penyangkalan terhadap seluruh hak asasi manusia yang pada gilirannya ancaman bagi perdamaian. Karenanya, ia memilih dan memilah problema dan menyajikan penyelesaian yang memang tak wajar bagi kita yang terbiasa dengan hal-hal biasa. Yunus menetapkan bahwa kaum perempuan –apalagi telah berkeluarga, sebagai kelompok yang paling rentan terimbas ’wabah’ kemiskinan. Yunus berani memberi pinjaman kepada perempuan-perempuan miskin itu sejumlah tertentu tanpa perlu agunan. Baginya, kelangsungan untuk hidup esok hari adalah agunan terbaik yang dimiliki perempuan-perempuan miskin itu. Bagi Yunus pula, perempuan-perempuan miskin dengan segala keterdesakannya adalah kelompok yang paling bisa beradaptasi dan sangat prospektif dari sisi kreasi ekonomi.
Kalimat di atas, memang terkesan klise. Namun itulah faktanya. Yunus telah membuktikan dan dunia memberi pengakuan atas ijtihad yang dibangunnya.
Tapi, tunggu dulu. Maukah sejenak kita bertafakur, menundukkan kepala?
Distribusi pendapatan dunia bisa memberi gambaran yang amat jelas. Sembilan puluh empat persen pendapatan dunia dinikmati oleh 40 persen penduduk dunia sementara 60 persen penduduk dunia sisanya hidup hanya dengan 6 persen pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hidup hanya dengan AS$ 2 sehari. Lebih dari satu miliar orang hidup dengan kurang dari AS$ 1 sehari. Ini sungguh mencengangkan.
Angka-angka itu pun belumlah cukup. Catatan biaya perang di Irak, beberapa tahun lalu, yang hingga kini tak terbukti alasan penyerbuannya, memberikan angka lebih dari AS$ 530 miliar telah dihabiskan oleh Amerika Serikat. Tampaknya kita lupa –mengutip ucapan Yunus saat menyampaikan pidato nobel perdamaiannya, bahwa menyalurkan sumber daya untuk meningkatkan perikehidupan kaum miskin adalah strategi lebih baik ketimbang membelanjakannya buat senjata.
Khatimah
Di sini arti penting semua angka di atas. Kita berharap bahwa angka 86,01 triliun rupiah yang dialokasikan bagi 31,02 juta orang miskin di Indonesia tahun 2011 mampu mendorong Pemerintah, perbankan, swasta dan semua elemen yang bersinggungan dengan pengentasan kemiskinan menemukan titik api persoalan hingga tepat dalam merumuskan penyelesaiannya.
Pepatah kuna tak salah kita pedomani dalam hal ini, jauh berjalan banyak dilihat. Perbankan berbasis rakyat yang telah kita miliki, lebih lama (dan lebih jauh) berjalan, dari Grameen Bank-nya Yunus. Tapi, apa yang kita saksikan dan rasakan sampai hari ini? Kinerja dan efektifitas Grameen-nya Yunus jauh lebih baik dari yang kita miliki. Ada yang salah dalam tata-kelola ekonomi-berbasis-kerakyatan kita.
Mengakhiri tulisan ini, ada satu kalimat bijak yang pantas kita pinjam dari Rhenal Kasali, “tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga!”.
DPR-RI NON POLITIK
Halaman
- Beranda
- sejarah kematian soekarno
- LOGO DPR-RI (DESIGN PERWAKILAN RAKYAT RPUBLIK INDO...
- Indonesia Ceper Holic ( Ganyang Polisi Tidur )
- Masakan Tradisional Indonesia
- angka rakyat miskin imdonesia
- Biografi Presiden Indonesia (pertama s/d sekarang)...
- Gedung Baru DPR atau 32.000 Sekolah?
- Permainan Tradisional Indonesia
- (Laman Tak Berjudul)
Kamis, 05 Mei 2011
Permainan Tradisional Indonesia
Permainan tempo dulu sebenarnya sangat baik untuk melatih fisik dan mental anak. Secara tidak langsung anak-anak akan dirangsang kreatifitas, ketangkasan, jiwa kepemimpinan, kecerdasan, dan keluasan wawasannya melalui permainan tradisional.
Namun sayangnya seiring kemajuan jaman, permainan yang bermanfaat bagi anak ini mulai ditinggalkan bahkan dilupakan. Anak-anak terlena oleh televisi dan video game yang ternyata banyak memberi dampak negatif bagi anak-anak, baik dari segi kesehatan, psikologis maupun penurunan konsentrasi dan semangat belajar.
Kehadiran buku ini dapat memberi solusi agar anak-anak kembali ceria, kompak, aktif dan energik seperti pendahulunya. Dengan 100 lebih alternatif permainan tardisional, baik indoor maupun outdoor, anak-anak akan ditantang untuk menaklukkan setiap permainan dalam buku ini. Tidak hanya itu, pada setiap permainan tercantum skill level yang memudahkan para trainer, orang tua, guru untuk memilih permainan berdasarkan manfaat dan tujuannya. Ditambah lagi informasi penting mengenai bahaya era layar kaca terhadap kesehatan fisik dan psikologis anak seperti penyakit macular degeneration, Carpal Tunnel Syndrome, Nintendo Apylepsi, dan sebagainya.
Buku ini dapat menjadi bacaan wajib bagi orang tua atau guru yang mengharapkan anaknya lebih energik dan siap fisik-mental dalam menghadapi tantangan zaman.
Namun sayangnya seiring kemajuan jaman, permainan yang bermanfaat bagi anak ini mulai ditinggalkan bahkan dilupakan. Anak-anak terlena oleh televisi dan video game yang ternyata banyak memberi dampak negatif bagi anak-anak, baik dari segi kesehatan, psikologis maupun penurunan konsentrasi dan semangat belajar.
Kehadiran buku ini dapat memberi solusi agar anak-anak kembali ceria, kompak, aktif dan energik seperti pendahulunya. Dengan 100 lebih alternatif permainan tardisional, baik indoor maupun outdoor, anak-anak akan ditantang untuk menaklukkan setiap permainan dalam buku ini. Tidak hanya itu, pada setiap permainan tercantum skill level yang memudahkan para trainer, orang tua, guru untuk memilih permainan berdasarkan manfaat dan tujuannya. Ditambah lagi informasi penting mengenai bahaya era layar kaca terhadap kesehatan fisik dan psikologis anak seperti penyakit macular degeneration, Carpal Tunnel Syndrome, Nintendo Apylepsi, dan sebagainya.
Buku ini dapat menjadi bacaan wajib bagi orang tua atau guru yang mengharapkan anaknya lebih energik dan siap fisik-mental dalam menghadapi tantangan zaman.
Rabu, 04 Mei 2011
sejarah kematian soekarno
Tahun 1965 menjadi titik nadir yang menggoreskan sejarah kelam dalam kehidupan Soekarno sekaligus bangsa Indonesia. Di mana ketika itu, pertentangan dan perebutan kekuasaan yang tidak lagi mengenal kata ‘kemanusiaan dan keadilan’. Naluri politik bergerak penuh ambisi, mendulang kepentingannya sendiri, bertengger dalam tampuk kekuatan untuk bersama-sama mendepak dan mengganyang Soekarno.
Peralihan kekuasaan tahun 1965 hingga lima tahun kemudian, telah melahirkan peristiwa mengenaskan, yakni terbunuhnya setengah juta orang dalam suasana hiruk pikuk politik awal Orde Baru. Soekarno sempat menyerukan, bahwa sedang terjadi pembunuhan massal di Jawa Timur dan menginginkan pembantaian tersebut segera dihentikan. Namun ironis, seruannya tidak digubris, karena pihak keamanan telah disabotase oleh kendali kuasa yang terselubung.
Buku yang ditulis oleh Reni Nuryanti ini akan membawa kita menelisik kembali bagaimana kronologi lengsernya presiden pertama Indonesia hingga akhir hayatnya. Tragedi pergolakan di penghujung kehidupan Soekarno hingga saat ini masih mengalirkan berbagai kontroversi dan belum bermuara pada kejernihan sejarah. Buku ini mengupas berbagai fakta mengenai setting politik yang melahirkan rekayasa sosial sehingga mampu mengikis habis ketangguhan Sang Proklamator.
Intrik politik mulai menggejala ketika komposisi kabinet dalam penerapan sistem demokrasi parlementer yang digagas Soekarno mengalami jatuh bangun. Bagi oknum-oknum yang telah lama menjadi musuh dalam selimut, kondisi semacam itu memberikan angin segar untuk segera memanfaatkan kedudukan serta mencari cela politik. Hal ini membuat Soekarno mulai berpikir untuk membuat semacam perisai politik bagi kelangsungan pemerintahannya.
Salah satu pihak yang memberikan dorongan kuat untuk merekonstruksi tata pemerintahan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu diketuai oleh Aidit. Dari sinilah terjalinnya kesamaan visi antara Aidit yang mengusung faham komunis dengan konsep yang telah mengendap dalam pemikiran Soekarno yakni NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis).
Soekarno memang bukan seorang komunis, tetapi ide-ide kerakyatan yang terkandung dalam pemikiran komunis dipahami sebagai salah satu komponen yang mampu merubah kondisi bangsa Indonesia yang saat itu memang tidak stabil. Pada gilirannya, keberadaan PKI yang diback-up Soekarno tumbuh pesat dan menjadi partai terkuat.
Sementara itu, pihak militer juga tidak kalah strategi untuk bersaing pengaruh dalam kancah politik. Pemberlakuan sistem Dwi Fungsi ABRI membuat tangan besi militer mampu bergerak dalam sektor politik. Kenyataan PKI yang berkembang pesat menimbulkan kekhawatiran di kalangan militer, utamanya Angkatan Darat (AD). Karena bila pemilu digelar, PKI akan menang mutlak dan otomatis yang akan menjadi presiden juga dari orang PKI. Demi menghadang laju kekuasaan PKI, pihak AD dengan menggandeng Partai Nasional Indonesia (PNI) berhasil mengusulkan dan menjadikan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, melalui hal ini berarti pemilu ditiadakan.
Akan tetapi, implikasi dari model politik semacam itu ternyata memicu konflik yang melahirkan beragam tindakan anarkis. Dengan sama-sama menggunakan Soekarno sebagai ‘bamper’, kemelut antara AD dengan PKI semakin menegangkan sehingga rangkaian pemberontakan semakin meluas dan pada puncaknya, tragedi besar pun terjadi dalam Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Semua daya upaya yang dikerahkan Soekarno untuk menajamkan kekuatan demokrasi terpimpin akhirnya tergerus oleh beragam intrik politik dan kepentingan golongan. Akibatnya, Soekarno terjerembam dalam kubangan tuduhan dan hinaan.
Sementara itu, kondisi masyarakat yang sangat tidak stabil dengan mudah dapat dimanfaatkan. Demonstrasi dan pembunuhan massal merebak sepanjang Desember 1965 hingga awal Maret 1966. Rakyat yang sudah terprovokasi makin membabi buta. Para pemuda dan Mahasiswa menuntut tanggung jawab pemerintah atas kerusuhan yang makin meluas.
Maka dengan pertimbangan situasi negara yang semakin gawat, Soekarno akhirnya menandatangani sebuah surat yang dikirim oleh Soeharto melalui 3 utusannya yakni Andi M. Yusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Machmoed. Surat yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itulah yang menjadi tombak legitimasi untuk menggulingkan Soekarno.
Dalam situasi konflik tak kunjung reda, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam sidang tersebut Supersemar makin diteguhkan, pidato pertanggungjawaban Soekarno yang tertuang dalam Nawaksara berikut pelengkapnya ditolak oleh MPRS. Praktis pada saat itu Soekarno kehilangan jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Peralihan kekuasaan jatuh kepada pemegang Supersemar yaitu Soeharto.
Pasca itu, konsekuensi berat masih harus diterima Soekarno karena tuduhan atas keterlibatan peristiwa G 30 S. Meski tanpa bukti, rezim Orde Baru memindahkan Soekarno dari Jakarta ke Istana Bogor sebagai tahanan politik. Dalam pengawasan yang ketat, kondisi kesehatan Soekarno mulai menurun dan semakin rentan terhadap penyakit. Soekarno memutuskan untuk pindah ke Batu Tulis karena muncul surat keputusan dari pemerintah untuk segera mengosongkan Istana Bogor.
Selang beberapa bulan, Soekarno diberikan izin oleh pemerintah untuk tinggal di Wisma Yaso Jakarta. Keadaan Soekarno tetap tidak berbeda, bahkan interogasi makin sering dilakukan oleh Kopkamtib. Akibatnya, kondisi psikis dan fisik Soekarno kian memburuk. Pertengahan tahun 1970 Soekarno mengalami gangguan kesadaran, metabolisme tubuhnya rusak, sehingga diputuskan untuk dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Hanya selang beberapa hari, keadaan penyakit yang teramat parah membuat Soekarno tidak dapat lagi bertahan, pada 21 Juni 1970 Soekarno menghembuskan nafas terakhir.
Peralihan kekuasaan tahun 1965 hingga lima tahun kemudian, telah melahirkan peristiwa mengenaskan, yakni terbunuhnya setengah juta orang dalam suasana hiruk pikuk politik awal Orde Baru. Soekarno sempat menyerukan, bahwa sedang terjadi pembunuhan massal di Jawa Timur dan menginginkan pembantaian tersebut segera dihentikan. Namun ironis, seruannya tidak digubris, karena pihak keamanan telah disabotase oleh kendali kuasa yang terselubung.
Buku yang ditulis oleh Reni Nuryanti ini akan membawa kita menelisik kembali bagaimana kronologi lengsernya presiden pertama Indonesia hingga akhir hayatnya. Tragedi pergolakan di penghujung kehidupan Soekarno hingga saat ini masih mengalirkan berbagai kontroversi dan belum bermuara pada kejernihan sejarah. Buku ini mengupas berbagai fakta mengenai setting politik yang melahirkan rekayasa sosial sehingga mampu mengikis habis ketangguhan Sang Proklamator.
Intrik politik mulai menggejala ketika komposisi kabinet dalam penerapan sistem demokrasi parlementer yang digagas Soekarno mengalami jatuh bangun. Bagi oknum-oknum yang telah lama menjadi musuh dalam selimut, kondisi semacam itu memberikan angin segar untuk segera memanfaatkan kedudukan serta mencari cela politik. Hal ini membuat Soekarno mulai berpikir untuk membuat semacam perisai politik bagi kelangsungan pemerintahannya.
Salah satu pihak yang memberikan dorongan kuat untuk merekonstruksi tata pemerintahan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu diketuai oleh Aidit. Dari sinilah terjalinnya kesamaan visi antara Aidit yang mengusung faham komunis dengan konsep yang telah mengendap dalam pemikiran Soekarno yakni NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis).
Soekarno memang bukan seorang komunis, tetapi ide-ide kerakyatan yang terkandung dalam pemikiran komunis dipahami sebagai salah satu komponen yang mampu merubah kondisi bangsa Indonesia yang saat itu memang tidak stabil. Pada gilirannya, keberadaan PKI yang diback-up Soekarno tumbuh pesat dan menjadi partai terkuat.
Sementara itu, pihak militer juga tidak kalah strategi untuk bersaing pengaruh dalam kancah politik. Pemberlakuan sistem Dwi Fungsi ABRI membuat tangan besi militer mampu bergerak dalam sektor politik. Kenyataan PKI yang berkembang pesat menimbulkan kekhawatiran di kalangan militer, utamanya Angkatan Darat (AD). Karena bila pemilu digelar, PKI akan menang mutlak dan otomatis yang akan menjadi presiden juga dari orang PKI. Demi menghadang laju kekuasaan PKI, pihak AD dengan menggandeng Partai Nasional Indonesia (PNI) berhasil mengusulkan dan menjadikan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, melalui hal ini berarti pemilu ditiadakan.
Akan tetapi, implikasi dari model politik semacam itu ternyata memicu konflik yang melahirkan beragam tindakan anarkis. Dengan sama-sama menggunakan Soekarno sebagai ‘bamper’, kemelut antara AD dengan PKI semakin menegangkan sehingga rangkaian pemberontakan semakin meluas dan pada puncaknya, tragedi besar pun terjadi dalam Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Semua daya upaya yang dikerahkan Soekarno untuk menajamkan kekuatan demokrasi terpimpin akhirnya tergerus oleh beragam intrik politik dan kepentingan golongan. Akibatnya, Soekarno terjerembam dalam kubangan tuduhan dan hinaan.
Sementara itu, kondisi masyarakat yang sangat tidak stabil dengan mudah dapat dimanfaatkan. Demonstrasi dan pembunuhan massal merebak sepanjang Desember 1965 hingga awal Maret 1966. Rakyat yang sudah terprovokasi makin membabi buta. Para pemuda dan Mahasiswa menuntut tanggung jawab pemerintah atas kerusuhan yang makin meluas.
Maka dengan pertimbangan situasi negara yang semakin gawat, Soekarno akhirnya menandatangani sebuah surat yang dikirim oleh Soeharto melalui 3 utusannya yakni Andi M. Yusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Machmoed. Surat yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itulah yang menjadi tombak legitimasi untuk menggulingkan Soekarno.
Dalam situasi konflik tak kunjung reda, MPRS menggelar Sidang Istimewa. Dalam sidang tersebut Supersemar makin diteguhkan, pidato pertanggungjawaban Soekarno yang tertuang dalam Nawaksara berikut pelengkapnya ditolak oleh MPRS. Praktis pada saat itu Soekarno kehilangan jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia. Peralihan kekuasaan jatuh kepada pemegang Supersemar yaitu Soeharto.
Pasca itu, konsekuensi berat masih harus diterima Soekarno karena tuduhan atas keterlibatan peristiwa G 30 S. Meski tanpa bukti, rezim Orde Baru memindahkan Soekarno dari Jakarta ke Istana Bogor sebagai tahanan politik. Dalam pengawasan yang ketat, kondisi kesehatan Soekarno mulai menurun dan semakin rentan terhadap penyakit. Soekarno memutuskan untuk pindah ke Batu Tulis karena muncul surat keputusan dari pemerintah untuk segera mengosongkan Istana Bogor.
Selang beberapa bulan, Soekarno diberikan izin oleh pemerintah untuk tinggal di Wisma Yaso Jakarta. Keadaan Soekarno tetap tidak berbeda, bahkan interogasi makin sering dilakukan oleh Kopkamtib. Akibatnya, kondisi psikis dan fisik Soekarno kian memburuk. Pertengahan tahun 1970 Soekarno mengalami gangguan kesadaran, metabolisme tubuhnya rusak, sehingga diputuskan untuk dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Hanya selang beberapa hari, keadaan penyakit yang teramat parah membuat Soekarno tidak dapat lagi bertahan, pada 21 Juni 1970 Soekarno menghembuskan nafas terakhir.
Selasa, 03 Mei 2011
Lambang Indonesia
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.
Langganan:
Postingan (Atom)