Kamis, 05 Mei 2011

angka rakyat miskin imdonesia

Anggaran Kemiskinan
Permintah ditawari 3 opsi sebagai antisipasi terhadap gejaolak harga minyak dunia. Opsi yang paling ringan dan rasional saat ini –begitu menurut penggasanya, adalah menaikkan harga bahan bakar inyak (BBM) jenis premium, misalnya, sebesar Rp. 500 per liternya. Sepintas keputusan yang telah dipilih itu tampak sederhana. Tapi pernahkah kita bayangkan bahwa keputusan itu, di tengah himpitan sektor yang menjepit lainnya yang dirasakan masyarakat, produk pertanian khusunya, sungguuh-sungguh berdampak besar. Satu hal yang pasti, meski BBM baru direncanakan naik, efek psikologis-nya telah terasa. Di beberapa tempat BBM sempat langka, rakyat antre dan beberapa harga bahan kebutuhan pokok rakyat sudah naik. Ini baru efek psikologisnya. Memang, banyak kalangan sadar bahwa BBM merupakan instrumen ekonomi mikro (juga makro) yang sangat besar kaitannay dengan sektor-sektor lainnya, meski tidak terkait secara langsung.
Pernyataan resmi Pemerintah mealui Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati, di awal tahun 2011 tentang penganggaran bagi penanggulangan kemiskinan patut diingat dan dicermati kembali. “Dalam tahun 2011 anggaran program kemiskinan Rp86,1 triliun. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2010 sebesar Rp80,1 triliun,” kata Anny.
Hal ini berarti bahwa secara kuantitatif anggaran penanggulangan kemiskinan naik secara konsisten dari tahun ke tahun. Bila dibandingkan dengan anggaran kemiskinan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp 24,08 triliun, (REPUBLIKA, 21/06/2007), artinya dalam 4 tahun terjadi kenaikan lebih dari 2,5 kali-nya. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi 31,02 juta orang penduduk miskin Indonesia –tepatnya 31.023.400 juta orang, baik yang berada di kota maupun di pedesaan (BPS, 2010). Bila diasumsikan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia tahun 2011 sama dengan data BPS tahun 201, apa arti angka-angka itu?
Bagi kita yang paham akan tingkat besaran-besaran dalam matematika; satuan (angka 1-9 tanpa nol, 1 misalnya), puluhan (angka yang diikuti oleh satu angka nol di belakangnya, 10 misalnya), ratusan (angka yang diikuti oleh dua angka nol di belakangnya, 200 misalnya), ribuan (angka yang diikuti oleh 3 angka nol dibelakangnya, 3.000 misalnya), jutaan (angka yang diikuti oleh 6 angka nol di belakangnya, 6.000.000 misalnya), miliaran (angka yang diikuti oleh 9 angka nol di belakangnya, 9.000.000.000), dan triliunan (angka yang diikuti oleh 12 angka nol di belakangnya, 12.000.000.000.000 misalnya, besar pagu penanggulangan kemiskinan itu sangat jelas artinya.
Sederhana saja. Bila terdapat 31.023.400 orang miskin di Indonesia saat ini sementara tersedia Rp 86,01 triliun dana yang akan dikucurkan untuk mengglontorkan kemiskinan maka angka-angka itu berarti: 86.010.000.000.000 rupiah/31.023.400 orang, atau masing-masing rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin akan disantuni sebesar Rp 2.772.423. Angka ini setara dengan AS$ 326,167 untuk setiap orang miskin di Indonesia (kurs Rupiah terhadap Dolar AS diasumsikan Rp 8.500/ AS$).

Belajar pada Yunus
Pertanyaan selanjutnya, apa yang dapat kita bayangkan dengan angka di atas?
Serentak sebagian kita akan lantang menyebut, ”terlalu kecil” atau ”bisa berbuat apa dengan angka itu?” bahkan mungkin ungkapan ”tidak pantas!”.
Memang, kalau didengar sesaat ungkapan di atas bisa benar adanya. Kenyataannya, sampai saat ini pun program penanggulangan –istilah yang dulu sering dipakai pengentasan, kemiskinan belum berarti signifikan. Atau ada juga yang mungkin berkomentar positif, ”cukuplah”.
Tapi, bila kita mau lebih teliti menoleh dan belajar dari negara tetangga yang tak henti dirundung malang, Bangladesh, dalam hal penanggulangan kemiskinan melalui sosok seorang Profesor ekonomi, Muhammad Yunus, dengan Grameen Bank-nya, sungguh kita akan tercengang dengan angka-angka itu. Bahkan, program yang dirintis dari sebuah desa kecil dekat kampus Chittagong University, Jobra di distrik Chittagong, Sang Profesor —setelah hampir 30 tahun, dihadiahi Nobel Perdamaian oleh Komite Nobel Norwegia pada tahun 2006.
Yunus, memulai programnya dengan hanya berbekal dana AS$ 27 untuk membantu menutupi pinjaman –hutang dan bunganya, 42 orang warga Jobra kepada para rentenir. Yunus hanya perlu memodali masing-masing warga miskin Jobra sebesar AS$ 0,643 atau setara dengan Rp 5.464 ketika itu. Sementara angka yang diperuntukkan bagi rakyat miskin Indonesia saat ini, perorangnya sebesar AS$326,167. Atau 507 kali lipat besarnya dari angka yang dimulai Yunus. Dan, setelah 30 tahun berlalu, catatan pada Grameen Bank sungguh-sungguh fantastis: 7 juta orang miskin di 73.000 desa Bangladesh di mana 97 persen nasabahnya perempuan telah menerima kredit yang bebas agunan untuk mata pencaharian, perumahan, sekolah, dan usaha mikro dan menawarkan setumpuk program tabungan yang atraktif, dana pensiun, dan dana asuransi untuk para anggotanya.
Apa yang membuat Yunus mampu menyulap angka-angka seperti ini?
Bagi Yunus, kemiskinan adalah penyangkalan terhadap seluruh hak asasi manusia yang pada gilirannya ancaman bagi perdamaian. Karenanya, ia memilih dan memilah problema dan menyajikan penyelesaian yang memang tak wajar bagi kita yang terbiasa dengan hal-hal biasa. Yunus menetapkan bahwa kaum perempuan –apalagi telah berkeluarga, sebagai kelompok yang paling rentan terimbas ’wabah’ kemiskinan. Yunus berani memberi pinjaman kepada perempuan-perempuan miskin itu sejumlah tertentu tanpa perlu agunan. Baginya, kelangsungan untuk hidup esok hari adalah agunan terbaik yang dimiliki perempuan-perempuan miskin itu. Bagi Yunus pula, perempuan-perempuan miskin dengan segala keterdesakannya adalah kelompok yang paling bisa beradaptasi dan sangat prospektif dari sisi kreasi ekonomi.
Kalimat di atas, memang terkesan klise. Namun itulah faktanya. Yunus telah membuktikan dan dunia memberi pengakuan atas ijtihad yang dibangunnya.
Tapi, tunggu dulu. Maukah sejenak kita bertafakur, menundukkan kepala?
Distribusi pendapatan dunia bisa memberi gambaran yang amat jelas. Sembilan puluh empat persen pendapatan dunia dinikmati oleh 40 persen penduduk dunia sementara 60 persen penduduk dunia sisanya hidup hanya dengan 6 persen pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hidup hanya dengan AS$ 2 sehari. Lebih dari satu miliar orang hidup dengan kurang dari AS$ 1 sehari. Ini sungguh mencengangkan.
Angka-angka itu pun belumlah cukup. Catatan biaya perang di Irak, beberapa tahun lalu, yang hingga kini tak terbukti alasan penyerbuannya, memberikan angka lebih dari AS$ 530 miliar telah dihabiskan oleh Amerika Serikat. Tampaknya kita lupa –mengutip ucapan Yunus saat menyampaikan pidato nobel perdamaiannya, bahwa menyalurkan sumber daya untuk meningkatkan perikehidupan kaum miskin adalah strategi lebih baik ketimbang membelanjakannya buat senjata.
Khatimah
Di sini arti penting semua angka di atas. Kita berharap bahwa  angka 86,01 triliun rupiah yang dialokasikan bagi 31,02 juta orang miskin di Indonesia tahun 2011 mampu mendorong Pemerintah, perbankan, swasta dan semua elemen yang bersinggungan dengan pengentasan kemiskinan menemukan titik api persoalan hingga tepat dalam merumuskan penyelesaiannya.
Pepatah kuna tak salah kita pedomani dalam hal ini, jauh berjalan banyak dilihat. Perbankan berbasis rakyat yang telah kita miliki, lebih lama (dan lebih jauh) berjalan, dari Grameen Bank-nya Yunus. Tapi, apa yang kita saksikan dan rasakan sampai hari ini? Kinerja dan efektifitas Grameen-nya Yunus jauh lebih baik dari yang kita miliki. Ada yang salah dalam tata-kelola ekonomi-berbasis-kerakyatan kita.
Mengakhiri tulisan ini, ada satu kalimat bijak yang pantas kita pinjam dari Rhenal Kasali, “tak peduli berapa jauh jalan salah yang anda jalani, putar arah sekarang juga!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar